Oleh: Ratna Puspita*
Dosen memiliki beban kerja yang tinggi dan beban administrasi yang luar biasa. Pembahasan mengenai kesejahteraan dosen mengemuka setelah The Conversation mempublikasikan hasil survei yang melibatkan 1.200 dosen aktif mengenai kesejahteraan dosen. Riset yang dilakukan oleh akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Mataram (Unram) ini menyebutkan bahwa 42,9 persen dosen menerima pendapatan tetap di bawah Rp 3 juta per bulan.
Data yang menunjukkan bahwa ada dosen mendapatkan pendapatan tetap di bawah Rp 5 juta setiap bulan ini sangat mengejutkan. Meski mengejutkan, negara mengizinkan pendapatan tetap dosen yang minim tersebut.
UU Guru dan Dosen mengamanatkan agar dosen memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Kendati demikian, UU menyatakan bahwa penghasilan di atas kebutuhan minimum itu tidak hanya terkait gaji pokok, tetapi meliputi tunjangan melekat pada gaji, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan berdasarkan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
UU tidak merinci komponen gaji pokok dan jaminan kesejahteraan sosial yang diterima oleh dosen. Khusus di perguruan tinggi swasta, penerapan ini menjadi sangat bervariasi karena tergantung pada tata kelola setiap kampus.
Dengan aturan itu, perguruan tinggi bisa saja memberikan gaji dan tunjangan melekat pada gaji di bawah kebutuhan hidup minimum karena bakal mendapatkan tunjangan-tunjangan pada masa mendatang. Masalahnya, dosen bisa memperoleh tunjangan-tunjangan tersebut setelah bekerja beberapa tahun.
Misalnya, tunjangan profesi hanya diperoleh ketika dosen memiliki sertifikat pendidik dan dosen baru bisa mengajukan sertifikat pendidik satu tahun setelah memiliki jabatan fungsional asisten ahli. Lalu, tunjangan kehormatan hanya diberikan kepada guru besar.
Apakah dosen layak mendapatkan pendapatan tetap di bawah kebutuhan hidup minimum atau di bawah Rp 3 juta seperti yang diungkapkan oleh survei itu? Pendapatan tetap dosen selayaknya mempertimbangkan dua hal, yakni upah minimum regional dan kerja yang dilakukan dosen ketika ia menempuh pendidikan pascasarjana.
Selanjutnya, sangat penting untuk memahami dua jenis kerja yang dilakukan oleh dosen, yakni kerja berbasis waktu dan kerja berbasis hasil. Dalam tugas utamanya, dosen melakukan kerja berbasis waktu ketika memberikan pengajaran kepada mahasiswa.
Di perguruan tinggi, pengajaran ditandai dengan SKS atau Satuan Kredit Semester (SKS). Namun, SKS tidak hanya menandai waktu tatap muka dosen dan mahasiswa selama 50 menit di kelas. Bagi dosen, SKS juga menandai alokasi waktu 60 menit untuk merencanakan pengajaran dan mengevaluasi hasil pengajaran serta alokasi waktu 60 menit pengembangan materi kuliah.
Satu SKS berarti dosen harus mengalokasikan waktu kerja 170 menit per pekan. Jika ia mengajar 12 SKS maka ia harus mengalokasikan waktu 2.040 menit atau 34 jam per pekan untuk pengajaran.
Dalam lingkungan digital saat ini, kerja pengajaran oleh dosen juga melibatkan manajemen kelas melalui e-learning. Selain itu, sebagian perguruan tinggi belum menggunakan email dan e-learning sebagai media komunikasi utama sehingga dosen melakukan mikro-koordinasi hingga manajemen kelas melalui pesan percakapan seperti WhatsApp.
Kerja berbasis waktu di atas tidak termasuk kewajiban tiga SKS untuk melakukan pengabdian masyarakat dan penelitian setiap semester. Pengabdian masyarakat, penelitian, bimbingan akademik, bimbingan magang/kerja profesi, bimbingan skripsi/tugas akhir, dan kerja-kerja penunjang lain sebagai pekerja perguruan tinggi merupakan kerja berbasis hasil.
Jenis kerja di atas tidak melihat pada alokasi waktu, melainkan hasil akhir. Apakah dosen bisa dengan mudah mengeklaim kerja berbasis hasil? Tentu saja tidak. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) telah membuat prosedur dan administrasi yang harus dipenuhi agar kerja berbasis hasil yang dilakukan oleh dosen dapat diakui.
Alhasil, kerja berbasis hasil ini memunculkan dua masalah dalam kerja dosen: beban kerja yang tinggi dan beban administrasi yang luar biasa. Beban kerja yang tinggi membuat dosen berpotensi mengorbankan alokasi waktu untuk merencanakan pengajaran dan mengevaluasi hasil pengajaran, dan pengembangan materi kuliah, serta waktu istirahat alias bekerja hingga tengah malam.
Dengan akumulasi pengetahuan selama kuliah pascasarjana dan dua jenis kerja di atas, pendapatan tetap dosen di bawah Rp 3 juta tentu tidak layak. Memang benar, dosen menerima insentif untuk sebagian kerja berbasis hasil. Kendati demikian, insentif bukan pendapatan tetap dan tidak diterima setiap bulan sedangkan tagihan yang harus dibayar untuk menopang kehidupan datang setiap bulan.
Namun, kembali lagi, pendapatan tetap yang minim itu memang dilanggengkan melalui aturan yang lebih memfokuskan pada kewajiban dosen memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik, tetapi kurang memberikan perlindungan hak-hak dosen sebagai pekerja.
*) Penulis adalah dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Humaniora dan Bisnis (FHB) Universitas Pembangunan Jaya (UPJ)